MENJADI musisi keren,
terkenal dan kaya nampaknya masih jadi impian wajib yang dianut oleh banyak
anak muda dari waktu ke waktu. Dari era awal berkembangnya musik-pun, impian
utk menjadi rock/popstar sudah membius imajinasi anak muda dimana saja.
Mereka membayangkan dirinya
tenggelam dalam tumpukan kemewahan materi, first-class attitude dimanapun
mereka berada, dikerumuni groupies yang mau melakukan apa saja
demi kemauan mereka tanpa terkecuali, dan seribu mimpi-mimpi lain yang
mengumbar kebebasan hidup mereka. Benar-benar nikmat bukan? Tetapi ironisnya,
banyak musisi muda yang terlalu memaksakan impian tersebut untuk segera menjadi
kenyataan. Bagus juga sih, apabila mimpi itu bisa memotivasi untuk
lebih giat berkarya. Akan tetapi tidak sedikit yang lupa diri sehingga mereka
melupakan suatu proses yg harus dilaluinya sebagai syarat wajib meraih
kesuksesan.
Betul, untuk menjadi musisi besar
bukan hanya dengan memperbanyak jam terbang di berbagai event, yang kemudian
akan melebarkan sayap ketenaran mereka. Tetapi pernahkah mereka sebelumnya
membayangkan konsekuensi yang harus dihadapi sebagai seorang musisi? Pernahkah
membayangkan benturan-benturan yang akan terjadi dalam kehidupan pribadi dengan
kompetensi di dunia entertain? Jika belum, maka disinilah permasalahannya!
Sebenarnya seberapa jauh mental
dan kemampuan berkarya mereka telah disiapkan? Apakah hanya dengan menjual
gossip murahan nantinya akan mampu menyelamatkan eksistensi mereka? Belum
tentu! Inilah saatnya kita sadar bahwa dunia musik adalah suatu pilihan dan
membutuhkan pengorbanan, sama seperti profesi lain.
Bayangkan bahwa kita harus
menjaga kesegaran pikiran, fisik dan mental agar totalitas dan performa kita
selalu terpelihara untuk jangka panjang. Selalu siap merangkum ide segar untuk
dijadikan materi lagu untuk modal awal sebuah band.
Menjaga keutuhan band agar selalu
dalam keadaan kondusif dan menjamin keutuhan komunikasi antar personil, tak
lupa bahwa kita harus memilah kepentingan pribadi dengan kepentingan band pula
agar tidak terjadi ketimpangan dalam suatu group. Dan disini pula saya katakan
bahwa skill individu menempati nomor urutan yg kesekian setelah syarat utama
sebuah band,yaitu: solid.
Memang sah saja apabila banyak
terjadi fenomena artis karbitan hanya karena sesuatu yang dinilai unik tanpa
bisa dipertanggung jawabkan dalam unsur estetika musikal, seperti halnya yg
terjadi di industri musik kita. Cuma saya pribadi yakin bahwa hal tersebut
tidak akan berlangsung lama, seperti halnya sebuah trend yang sebetulnya hanya
akan memberikan keuntungan bagi label rekaman saja.
Tak ada salahnya dan bukan bermaksud
muluk-muluk bila sejenak kita melihat band living legend kelas
dunia seperti The Rolling Stones, Metallica, U2, Motley Crue hingga Iron
Maiden. Mereka pun tidak begitu saja meraih kesuksesan. Pelajarilah bagaimana
mereka me-maintain band tersebut selama berpuluh tahun, menjaga
hubungan dengan member lain agar tetap sinergis, serta menjaga kualitas musik
mereka tetap dalam komposisi dan stamina yang prima.
Kadang saya sendiri merasa ikut
bahagia ketika melihat Nikki Sixx dan Tommy Lee saling bercanda di twitter
seolah mereka masih merasa berusia sekitar 25 tahun, ataupun melihat gaya
bercanda personil Iron Maiden di panggung setelah lebih 30 tahun mereka
berjuang bersama.
Ketika mereka ditempa oleh waktu
dan tuntutan yang berjalan, maka antara kepribadian dan musikalitas personal
akan berjalan selaras tanpa beban. Dengan catatan bahwa mereka telah
berkomitmen utk terus semangat dalam berkarya, terlepas impian menjadi
superstar di kemudian hari (ataupun tidak). [nuza]*
*penulis adalah penggagas
Rockagila 2011 Jogjakarta & vokalis band heavy metal Zues
source : http://www.indonesiantunes.com
0 komentar:
Posting Komentar